Gerbong Pelintas Waktu
Daun masih basah sisa hujan semalam. Jalan aspal berlubang itu airnya masih
belum kering. Januari ini musim mulai berganti. Langit yang biasanya
menampakkan kegagahan matahari kini tak nampak lagi. Matahari memilih pergi, menjauh
meninggalkan langit. Langit jadi masam, muram, seperti wajah lelaki kalut.
Gumpalan awan kelam yang menari-nari seperti melakukan gerakan ritual pemanggil
hujan.
Ibu-ibu
dengan anaknya, bapak setengah baya memakai topi. Mereka bergegas, berlari
menuju stasiun kereta api. Bukan menghindari kucuran air dari langit. Mereka
menuju stasiun kereta. Bangku kayu di sudut stasiun jadi perburuan. Berbagai
raut wajah berkumpul dalam ruang antrian loket kereta. Kelambu biru penutup
kaca loket belum dibuka. Lubang sebesar gelas minum juga masih tertutup kerdus.
Terlihat kepala stasiun berjalan ke luar. Menyambut kereta yang melintas di
depan stasiun. Anak kecil sudah mulai merengek tak sabar menunggu loket
terbuka. Tapi selambu biru itu masih menutup loket kaca. Ibunya mengendong,
menenangkan dan mendekapnya. Wanita bersolek dan berseragam biru membuka
selambu loket. Kerdus penutup lubang sebesar gelas juga diambilnya. Mereka yang
duduk di bangku kayu mulai berdiri mengantri. Dengan senyum tipis wanita dalam
ruang berkaca melayani. Bunyi cetakan tiket terdengar nyaring mengeluarkan
selembar kertas tiket. Satu demi satu pemilik raut wajah itu mengantri
mengambil tiket.
Di
luar langit meneteskan gemricik air hujan. Tapi kepala stasiun kereta itu masih
setia berdiri dan memberi salam kepada setiap kereta yang melintasi stasiun.
Sebungkus kacang rebus yang dimakan anak kecil berbaju hijau bergambar salah
satu grup band sudah hampir habis. Dia bertanya kepada ibunya “mana kereta kita
Bu?” Sabar ya nak" saut ibu itu. Tak lama berselang terdengar suara bel. Kloneng, kloneng, kloneng bunyi lonceng terdengar, dari pengeras suara diumumkan kereta yang akan mengantar mereka akan tiba. Terdengar suara kereta
datang kemudian berhenti kereta datang perlahan lalu berhenti. Mereka berlarian menuju gerbong berharap
masih ada kursi kosong atau ada tempat yang paling tidak cukup untuk
menyandarkan punggung. Akupun juga demikian. Namun ada yang berdiri di lorong dekat pintu keluar
kereta. Kereta hanya berhenti sebentar. Dengan diiringi gemricik dari air hujan
yang nampak di jendela kaca. Kereta melaju lagi.
Berbagai
macam raut dan mimik wajah berkumpul dalam satu gerbong. Di salah satu sudut ada
segombolan orang. Mereka terlihat asik dalam obrolan ringan. Di salah satu
tempat duduk juga terlihat seorang yang tidur. Ku lihat juga seorang ibu duduk
bersebelahan dengan anaknya yang lucu dengan rambut berponinya. Anak itu
sungguh menikmati makanan sampai belepotan dan ibunya mencoba membersihkan sisa
makanan yang ada di mukanya. Laju kereta mulai terasa pelan. Ternyata kereta
akan berhenti lagi di sebuah stasiun. Tapi bukan stasiun itu tujuan terakhir
dari perjalanan kereta ini.
Orang
– orang terlihat keluar dan ada beberapa yang naik juga. Aku dapati seorang gadis yang rambutnya diikat. Dia memakai baju ungu. Hujan telah berhenti di stasiun
ini. Tapi seolah petir menyambar ingatanku akan rupa yang tak asing itu. Dia duduk
dalam gerbong yang sama denganku. Dia duduk ditempat yang bisa ku lihat dari
tempatku bersandar. Kereta melaju lagi. Dan ingatanku mulai mencoba mengingat
kembali. Samar terlihat dalam benak seperti jendela kaca yang ada di gerbong ini
yang mengembun setelah hujan tadi.
Gerbong
ini sungguh membawaku melintasi waktu yang berlalu. Seiring berjalan ke depan
gerbong ini. Ingatanku kembali mencoba mengingat seraut wajah tak asing itu. Ingatanku
pertama tertuju kepada bau parfum yang disemprotkan di tubuhnya. Bagaimana cara
tertawanya yang ceria dan lepasnya. Sorot mata serta cara berjalannya. Semua
mulai nampak jelas dalam ingatan akan satu nama itu. Aku mencuri - curi melihat gadis itu
sekilas lagi. Terlintas dalam ingatanku akan kejadian pagi itu, saat dia memanggil namaku. Ku lihat wajahnya
melukiskan senyum kepadaku. Ah, semakin lama ingatan ini bergerak dengan liar dan tidak akan aku biarkan berjalan
lebih jauh lagi. Ku palingkan tempat dudukku. Berusaha tidak menatapnya. Masih saja ingatanku berputar mengingatnya. Akhirnya aku putuskan berpindah ke gerbong lain.
Mencari tempat duduk kosong. Ternyata cara ini tidak cukup ampuh untuk menghindarkan ingatanku yang sudah terlanjur berputar menuju satu arah. Kepalaku
sudah dipenuhi rupa dan segala tingkah tentangnya.
Aku
bertanya kepada hati. Apakah perjalanan dari gerbong ini sungguh benar
meninggalkan. Atau jangan-jangan gerbong ini mengarahkanku kepada yang tertinggal. Apakah perjalanan gerbong
ini membawa ke ruang yang jauh. Atau jangan – jangan membuat kembali ke ruang
lalu. Apakah perjalanan gerbong ini sungguh melintasi waktu. Atau jangan – jangan
membawa kembali ke masa lalu. Ah, gerbong ini sungguh bagaikan mesin waktu.
Memutar segala kenangan dan mengarahkanku ke suatu ruang dan waktu. Tanpa bisa
aku mengerem menghentikannya menuju tempat muara sosok itu.
Sama
halnya sisa hujan di luar gerbong. Perlu waktu untuk kering. Namun akan
menggenang kembali jika terkena hujan lagi. Terus sampai kapan akan mengering jika
musim belum berganti. Ataukah akan kembali basah dan menggenang lagi jika musim
hujan akan tiba lagi meskipun tahun berganti. Apakah sama ingatan juga seperti
itu. Adakah cara menambal genangan air itu. Ataukah akan seperti itu
seterusnya.
Ku
ambil air minum yang aku bawa. Aku teguk untuk membasahi kerongkongan. Aku makan
sepotong roti yang ada dalam tasku. Kemudian aku pejamkan mataku. Aku tak takut
akan salah stasiun tempat aku turun. Karena stasiun terakhirlah tujuanku. Aku
biarkan ingatanku tentang wanita itu mengalir dalam tidurku. Ku biarkan ingatan
liar ini menari – nari memanggil namanya.
Seperti
stasiun. Setiap hari akan ada yang datang dan pergi. Setiap hari juga akan ada
pertemuan dan perpisahan. Maka di setiap sela waktu datang dan pergi. Atau
waktu bertemu dan berpisah. Pasti ada sebuah kenangan yang terjadi. Biarkan
saja kenangan itu tersusun indah dan rapi seperti gerbong yang saling mengikat
erat. Dan jika gerbong itu rusak dan tak terpakai. Maka tumpuk saja dan
letakkan di tempat yang bisa terlihat. Tak perlu susah – susah untuk mengubur
atau meleburnya. Agar bisa mengingat dan mengenang kembali segala memori dan
ingatan akan sejuta sosok yang pernah singgah di gerbong itu.
Aku
pun demikian. Ku biarkan saja ingatan liar ini menyusun sendiri menjadi
rangkaian gerbong ingatan yang membawaku kembali tentang dia. Karena pasti akan
ada stasiun tempat berhenti dan akan menggantikan gerbong ingatan ini.
Note :
Cerpen ini saya buat karena terinspirasi oleh tumpukan gerbong yang ada di stasiun Purwakarta. Tumpukan gerbong ini tersusun sangat rapi. Sungguh menarik dan indah dipandang mata meskipun terdiri dari Tumpukan gerbong bekas.
Tumpukan Gerbong Bekas di Stasiun Purwakarta.
Cerita ini masih ada kelanjutannya lagi. Karena ini hanya penggalan awal cerita fiksi yang saya buat.