PERJALANAN SEPARUH PUTARAN BUMI
Bunyi klakson di luar saling bersahutan. Entah apa
yang mereka ributkan. Padahal kemacetan ini mereka jualah yang ikut andil.
Lampu lalu lintas di perempatan depan sebuah pusat perbelanjaan juga terlihat
lancar menyalakan warna merah, kuning, hijau. Apa mereka tidak bisa antri
sebentar saja menunggu giliran. Apakah panas menyengat dari kota ini yang
meskipun terkadang tersiram hujan malah menjadi – jadi. Yang membuat mereka
segera keluar dari kesemrawutan jalan ini. Kota ini memang tiap hari bertambah
padat. Dipenuhi berbagai manusia dengan berbagai karakter yang mungkin
terbentuk karena panasnya kota ini. Namun kota ini jualah yang selalu membuat
seseorang ingin kembali merasakan hangatnya suasana di kota ini. Mobil sudah
setengah jam lebih belum berpindah posisi. Seperti terpaku tak bergerak. Rasa
bosan telah melanda. Akhirnya radio yang ada di mobil dinyalakan sebagai
pelipur suasana. Bersama kakak perempuan dan suami kakaknya, mereka mendengarkan
lagu yang mengalunkan nada – nada mendamaikan telinga. Sebagai pengusir penat
kemacetan yang entah siapa yang harus disalahkan. Sedang asik memutarkan sebuah
lagu. Suara adzan duhur terdengar dari saluran radio. Alhamdulillah, mobil
akhirnya bisa bergerak sedikit demi sedikit. Setelah perempatan ini akan sampai
di stasiun, kemudian melanjutkan perjalanan lagi. Dengan transportasi andalan
sejuta umat.
Akhirnya sampai tepat di pintu masuk ke stasiun. Putra
langkahkan kakinya keluar dari mobil. Menggendong tas ransel biru. Lalu ia
berpamitan kepada kakaknya. Becak – becak, tukang ojek dan angkot berbagai
jurusan berjajar di depan stasiun. Putra berjalan menuju sebuah masjid tepat di
sebelah stasiun. Setelah itu ia menuju sebuah minimarket. Stasiun ini sungguh
sudah berubah. Telah berias dengan kemodernisasi. Tak lagi menjumpai tukang
pentol yang biasa menjajakan dagangannya dengan sepeda onthelnya. Atau tidak ada
lagi ibu – ibu penjual yang menyunggi jualannya di tampah. Tukang bakso dengan
gerobaknya dan penjual buah sudah tiada lagi. Stasiun yang dulunya sangat ramai
penjual kini entah kemana mereka yang sekedar mencari sesuap nasi itu
tersisihkan. Apakah perubahan itu selalu menyisihkan sebagaian yang lain. Atau
malah harus menghilangkan. Kemudian Ia rebahkan kakinya, memeriksa ponsel,
apakah ada pesan dari seorang yang melakukan perjalanan searah dengannya. Ia
berjalan mengelilingi stasiun. Entah berapa lama juga ia mengamati wajah stasiun
yang berubah ini. Matanya tertuju pada lokomotif yang ada di depan stasiun.
Setiap stasiun memang memiliki keunikan tersendiri. Mungkin lokomotif tua ini
menjadi ciri khas stasiun di kota yang dipenuhi jiwa pejuang. Mungkin lokomotif
ini memiliki sejarah panjang atau mungkin memiliki nilai yang penting sehingga
dijadikan maskot dari stasiun ini. Apapun itu, lokomotif ini pernah melaju
gagah di sebuah rel. Dengan menarik berbagai macam gerbong dalam waktu ribuan
jam. Memang segala sesuatu pasti ada masanya. Begitu juga lokomotif yang tangguh
ini. Yang pernah berdiri di depan dan memimpin ribuan gerbong. Sekarang menjadi
simbol ketangkasan sebuah satuan rangkaian kereta api.
Lokomotif Tua
Sengatan panas dari kota ini sungguh sampai ke
tulang. Mengucurkan keringat di kening. Akhirnya ia putuskan untuk mencari
tempat berteduh. Ia melihat minimarket yang tadinya ramai sekarang sepi. Kemudian
ia duduk di bangku depan minimarket itu. Diambilnya minum botol yang diselipkan
di tasnya. Ia teguk sedikit sebagai penghilang dahaga. Semilir dari pepohonan
yang ditanam di depan stasiun setidaknya sedikit berperan memberikan kesejukan.
Tak lama berselang melintas di depannya seorang yang akan melintasi waktu
menuju kota yang banyak orang bilang kota impian. Namun baginya kota itu
sungguh mengerikan. Ia menyapa seorang gadis berjilbab itu. Kemudian dia
menoleh ke arahnya. “Aku mau ke masjid sebentar ya, aku mau sholat”. Itu yang
dia ucapkan kepadanya. Dia juga menitipkan tas kepadanya. Kemudian dia menaruh
tas itu di bangku depan tepat dari duduknya. Tak lama gadis itu dari masjid
kemudian mereka mengobrol. Wulan, itulah namayan. Dia bercerita kalau dia dari
pagi sudah naik kereta dari rumahnya. Kemudian dia berhenti di stasiun di sisi
lain di kota ini. Dan sekarang akan naik kereta lagi. Sungguh perjalanan yang
panjang yang dibenaknya. Dia juga bercerita jika ini adalah perjalanan
pertamanya seorang diri dan yang terjauh. Dan kota yang akan dia tuju juga baru
pertama. Putra menikmati setiap yang dia ucapkan. Dia berbicara dengan lugu
tapi penuh kekhawatiran. Putra berusaha meyakinkan dia. Dan akan menemaninya
sampai tujuannya. Di sela obrolan terdengar pengumuman dari dalam stasiun jika seluruh
penumpang diharapkan memasuki stasiun karena kereta telah bersiap mengantar ke
tujuan. Mereka bergegas menuju dalam stasiun. Kemudian Putra angkat tas yang
biasa ia bawa. Dan Wulan juga terlihat menjinjing tasnya. Entah apa yang ada
dalam tasnya.
Seorang
petugas bertubuh tegap dan berbaju biru menghentikan langkah mereka. Pria itu
menyuruh untuk menunggu sebentar karena kereta sedang dibersihkan. Putra
memilih duduk di bangku yang dekat dengan blower hitam besar. Wulan terlihat sedang menelpon. Kelihatannya dia sedang
memberi kabar jika ia sudah berada di dalam stasiun dan akan berangkat. Ibu –
ibu dengan membawa tas dan barang yang dibungkus dalam kerdus juga duduk di
belakang kursi mereka. Para pengangkut barang juga terlihat menawarkan jasanya
untuk membawa barang ke dalam gerbong. Tak lama berselang mereka dipersilahkan
untuk memasuki gerbong. Mereka langkahkan kaki bersama penumpang lain menuju
gerbong. Putra menaruh tas ranselnya ke atas bangku. Ia berusaha membantunya
menaruh tas gadis itu ke atas juga. Ia persilahkan Wulan duduk di dekat
jendela untuk menikmati perjalanan selama
11 jam lebih ini. Terlihat dari jendela dekap langkah yang tergesa – gesa ingin
segera memasuki gerbong kereta. Petugas yang tadi menghentikan langkah mereka
juga sibuk memberi informasi kepada penumpang yang bertanya kepadanya. Para
pengangkut barang juga terlihat sigap membawa barang penumpang. Kepala stasiun
sudah mulai keluar dari ruangannya. Dan dari pengeras suara juga terdengar jika
kereta akan segera diberangkatkan. Tiupan pluit dari kepala stasiun itu
mengawali perjalanan kereta ini. Lokomotif bersiap. Mereka melaju bersama
penumpang lainnya.
Memang
perjalanan ke kota itu bukan yang pertama bagi Putra. Dia sampai hafal
sepanjang perlintasan yang akan dilalui kereta ini. Wulan terlihat seperti anak
kecil yang akan membuka kado ulang tahunnya. Penuh dengan rasa ingin tahu. Dia
bertanya kepada putra tentang apa yang ia lihat dan daerah mana itu. Di sela –
sela itu mereka juga mengobrol tentang banyak hal. Mereka memang belum lama
mengenal. Tapi itulah Putra, yang selalu berusaha mencoba mengerti lawan
bicaranya. Sehingga Wulan juga tidak canggung bercerita banyak hal kepadanya.
Wulan menceritakan tentang kekasihnya. Dimana dia mengenalnya. Bagaimana
kuliahnya. Dan ia terlihat sangat memuja kekasih hatinya itu. Tak jarang Putra
juga melontarkan pertanyaan yang kadang membuat Wulan bingung menjawabnya.
Putra juga bercerita banyak hal kepada Wulan. Kisah perjalanan hidupnya. Dimana
dia tinggal. Bagaimana keluarganya.
Dalam
gerbong ini, mereka begitu menikmati perjalanan. Suara gesekan roda gerbong dengan
rel seolah menjadi melodi yang melantun indah mengiringi obrolan mereka. Dua
lelaki yang duduk di depan mereka juga terlihat melihat mereka yang sedang membicarakan
sesuatu. Di sebelah bangku mereka juga ada seorang ibu dan suaminya serta anak
bayi perempuan yang menggemaskan. Gerbong ini dipenuhi dengan berbagai raut
wajah. Namun mereka tak mempermasalahkan itu. Suara gesekan rem seperti
interlude dalam pembicaraan mereka. Setiap kereta berhenti, Wulan terlihat
antusias menanyakan nama stasiun itu kepada Putra. Dan Putra juga selalu
menjawab apa yang dilontarkannya. Wulan juga sangat kagum melihat pemandangan
di luar jendelanya. Perumahan, tambak ikan, persawahan. Rangkaian sajian alam
itu memang hal yang baru bagi Wulan. Dan dari sorot matanya dia terlihat
menerka – nerka akan ada apalagi yang dia lewati. Begitulah, akan selalu ada hal yang pertama
dalam hidup. Pertama kali pergi ke sekolah, pertama kali mengunjungi sebuah
tempat, pertama kali melakukan perjalanan sendiri bahkan pertama kali merasakan
jatuh hati atau patah hati. Hal pertama memang selalu seperti tanda tanya tanpa
mengetahui jawaban dari kejutan itu.
Langit
sudah memadamkan kilaunya. Cahaya matahari berganti gemerlap bintang di luar
jendela. Lampu gerbong dinyalakan. Pemandangan hijau persawahan tak nampak
lagi. Namun hanya gelap yang terlihat. Di suatu daerah Putra menceritakan akan
melewati daerah yang menjadi sumber devisa negara. Terlihat kobaran api dan
gemerlap lampu dari salah satu perusahaan pengeruk kekayaan alam milik bangsa
yang dikuasai bangsa asing. Sungguh ironi, namun itulah realita yang terjadi.
Bangsa yang dikarunia berbagai kekayaan alam namun seperti tergadaikan. Bangsa
seolah tak berdaya dan membiarkan orang
asing menikmati dalam menguasai hasil alam itu.
Ratusan
menit berlalu, ratusan kilo juga telah dilalui bersama putaran roda gerbong
yang selalu berputar. Suara tengkuran dari salah satu penumpang terdengar.
Ternyata mereka tidak menyadari bahwa hari sudah larut. Salah satu penumpang
juga terdengar memutar lagu dengan ponsel yang dia bawa. Wajah – wajah lelah
dari puluhan manusia telah menghiasi gerbong yang mereka tumpangi. Namun suara
mesin dari lokomotif seperti instrumen musik yang tak habisnya menghasilkan
nada – nada. Di gemerlap malam mereka masih terlarut dalam pembicaraan yang tak
tahu ujungnya mana. Penumpang pun silih berganti turun dan naik. Seorang ibu
yang menggendong anak yang menggemaskan bersama suaminya telah turun. Perut
Putra tak bisa ditoleransi lagi, dia memutuskan untuk mengambil bekal yang ia
bawa dari rumah. Ia menawarkan kepada Wulan untuk makan bersama. Namun Wulan
mempersilahkannya makan. Dia berkata nanti dia akan makan sendiri.
Hari semakin larut. Hujan yang tak nampak dari jendela, tak terasa
menerobos sela – sela kaca. Membasahi lantai. Wulan mengambil tisu untuk
membasuh tempat duduknya yang basah. Kereta melaju begitu cepat malam itu.
Entah hujan sudah reda atau daerah yang dilintasi kereta tidak hujan. Air
rembesan dari kaca itupun tidak nampak lagi. Bangku Wulan juga mengering. Tak
terasa jam sudah menunjukkan pukul 10 malam. Putra berkata kepada Wulan agar
dia segera tidur. Atau paling tidak memejamkan mata. Karena sejak dini hari dia
telah melakukan perjalanan yang panjang. Hampir separuh putaran bumi. Putra
memberikan bantal leher tiup yang ia bawa kepada Wulan. “Istirahat sana, sudah
malam”. Itu yang dikatakan Putra katakan kepada Wulan. Wulan menyandarkan
kepalanya ke bantal tersebut. Dengan wajah yang kelelahan yang tesirat di
rautnya. Kemudian ia terlelap dan tertidur.
Mungkin
Wulan mengetahui beberapa bahkan banyak hal tentang Putra dari beberapa
pembicaraan selama perjalanan. Namun begitulah Putra. Perjalanan mengajarkan
banyak hal kepada dia. Perjalanan telah meluluhkan kerasnya watak. Entah berapa
putaran bumi yang dia tempuh hingga dinding pekanya tersentuh. Putra memang
sangat pandai menyimpan sebuah rahasia meskipun dia terlihat orang yang
terbuka. Pemikiran dia memang terkadang sulit diterka karena perjalanan juga
ikut andil menutrisi otaknya. Wulan tidak tahu bagaimana sebenarnya apa yang
dirasa putra selama perjalanan melintasi sepanjang rel ini. Dia tidak menyadari
bahwa putra adalah penjelajah waktu. Yang selalu merekam apa yang dia lihat,
yang dia rasa dengan menggunakan kameranya. Bahkan tak jarang dia harus ke
sambungan gerbong untuk mendapatkan hasil jepretan yang bagus. Tapi saat itu
dia seperti terpaku. Tidak beranjak sedikitpun dari tempat duduknya. Wulan
tidak mengetahui ada hal yang membuat matanya terus menatap dan tubuhnya
menetap. Putra sering mencuri pandang kepadanya. Melihat ke dalam sayup matanya
di balik kacamata yang menghiasi wajahnya. Yang terkadang kelingan dari matanya
sungguh membuat terpesona. Melihat raut wajah lugu penuh keingin tahuan akan
hal yang dilihat. Dan Putra selalu menjawab apa yang ditanyakannya akan semua
yang dia lihat sambil menikmati hangatnya hembusan nafas yang keluar dari
hidungnya. Setiap suara yang keluar dari bibir merahnya bagai alunan melodi
yang mengiringi lantunan orkestra suara kereta. Matanya seperti tertegun saat
melihat dia tersenyum. Menikmati gigi kelincinya yang terlihat saat tertawa. Guratan
dari pipinya seolah melengkapi keindahan lukisan di wajahnya. Sentak dia
menerka. Mungkin Tuhan saat menciptakannya saat sedang begitu bahagia. Hingga
dia bisa merasakan kesejukan angin surga.
Sebelum
tiba waktu senja. Putra selalu mengeluarkan kameranya. Dia akan merekam dan
mengabadikan setiap cipratan senja dari mata lensanya. Tapi sore itu sungguh
berbeda baginya. Pemandangan matahari yang akan turun di peraduan dengan latar
tambak ikan dengan pepohonan yang berjajar di tepian air. Memang sungguh indah.
Bayangan siluet dari pepohonan yang memantul di air, serta percampuran warna
langit yang dihasilkan dari senja biasanya menjadi objek andalan fotonya. Namun bingkaian panorama yang menakjubkan itu,
seolah dia abaikan karena ada objek yang jauh lebih memukau. Ia sudah
mengeluarkan kamera. Membidik panorama di luar jendela itu dari tempat
duduknya. Namun matanya seperti terhipnotis dengan siluet gadis berjilbab biru
dengan baju garis putih biru yang dipakainya yang sedang kagum karya Tuhan. Ia
sampai lupa menekan tombol “shot” di kameranya. Dia lebih memilih menikmati
sajian ini daripada mengatur susunan komposisi warna di lensanya. Karena dia
sadar bahwa lensa terbaik adalah mata yang diciptakan Tuhan. Dan media
penyimpanan objek terbesar dan paling terjaga rahasianya ada di hati. Dalam
hatinya dia berkata bahwa “senja dan kamu, sungguh hadiah yang tak terlupa”.
Saat itu dia tertangkap basah oleh Wulan kalau dia memandanginya terus. Wulan
berkata “emang cewek itu ribet, bajunya harus sepadan warnanya sama kudungnya”.
Wulan tak menyadari bahwa ada hal lain yang membuat mata Putra terpana.
Bahkan
saat Wulan memejamkan mata. Dia masih memandanginya. Melihat wajah penuh mimpi
yang kelelahan setelah dari petang melakukan perjalanan. Seorang wanita yang
duduk di depan Wulan juga sempet memergokinya dan berkata “itu pacarnya mas?”.
Namun ia hanya tersenyum seraya berkata “bukan, dia teman saya”. Dalam gelap malam
dan lampu gerbong yang meredup. Ia mencoba menyadarkan dirinya. Sejenak
memejamkankan mata. Dalam hati dia berkata bahwa dia tidak boleh terhanyut
suasana. Dia harus melawan perasaan yang telah melarutkan pikiran. Dia harus
segera keluar dari ini. Seperti terengah – engah berlari dari rasa yang harus
dibatasi. Melarikan diri dari tawaran yang ditimpulkan reaksi alami.
Ia
berpikir apakah bersalah dan apakah berdosa mencintai dirinya yang telah
dicintai. Jatuh hati padanya. Jatuh luluh padanya. Dia juga menyadari bahwa ini
adalah kesalahan yang sengaja dia perbuat dan kebodohan yang tak disesali. Tapi
dia harus segera mengatasi ini. Dia adalah petualang waktu yang berusaha
menepati janji. Terikat dia teringat akan janji yang ia buat. Bahwa dia akan
mengantarkan Wulan sampai ke tujuannya untuk mewujudkan harapan dan mimpinya.
Serta bertemu kekasih pujaan hatinya. Namun begitulah perjalanan. Bagaimanapun
berencana dan berusaha, selalu saja ada kejutan yang tak terkira. Entah berapa
kali putaran bumi yang dia lewati, dan selalu muncul kejutan yang terjadi.
Putra sejak awal menanamkan ke hatinya bahwa perjalanan separuh putaran bumi
ini adalah untuk mengantar Wulan. Namun dia tak menyangka akan terjebak seperti
ini. Dan tidak dapat membedakan antara terseret
arus suasana dengan jatuh hati yang sebenarnya.
Meski
dia memejamkan mata namun jiwanya masih terjaga. Dia melihat sekitarnya sudah terlelap
dalam tidur. Dia juga melihat Wulan sekali lagi. Dia ingin memastikan bahwa dia
benar – benar tidur. Dia memutuskan untuk berdiri. Bergerak perlahan agar tidak
mengejutkan Wulan yang duduk disebelahnya. Dia melihat ada bangku yang sudah
tidak ditempati. Dia luruskan punggungnya. Dia kemudian berbaring sambil
menatap ke langit - langit kereta.
Mencoba memejamkan mata yang sudah lama terjaga. Namun otaknya masih aja
berputar tak diam seperti ada yang dipikirkan. Mencoba melupakan semua yang dia
rasa dalam pejaman mata. Dia berusaha menyadarkan dirinya. Melawan arus yang
searah dengan laju gerbong yang ditarik dengan lokomotif ini. Dia sadar siapa
dirinya. Dia hanya seorang Pejalan yang tak jelas arah dan tujuan langkah
kakinya. Dan dia tahu bahwa Wulan adalah sosok yang setia. Dia juga sempat
melihat foto kekasihnya di dompet yang dia bawa. Mungkin itulah cara Wulan
untuk setia dengan hubungan jarak jauhnya. Dia juga memiliki kekasih yang jelas
arah hidup dan pekerjaannya. Bukan seperti dia yang kerjaannya menyusuri tiap
jengkal jalan beraspal. Yang terkadang berlubang atau malah mengelupas
aspalnya. Berpindah dari gerbong yang satu ke gerbong yang lain. Pindah ke bus
yang dipenuhi berbagai muatan. Yang terkadang ditumpangi para pencopet. Dia
mencoba berpikir realita. Bahwa dia hanya seorang pria yang kemana – mana hanya
bermodal tas ransel dan kekuatan langkah kaki saja. Bandingkan dengan kekasih
Wulan yang diceritakannya. Bekerja disebuah kantor. Yang sibuk sampai akhir pekan
terkadang masih bekerja. Sosok yang ideal bagi setiap perempuan. Yang merelakan
waktunya untuk mencari sebuah penghidupan. Hidupnya sudah mapan. Bandingkan dengan
dia yang seorang lelaki yang masih bingung memilih merapikan hidupnya di dunia
yang sudah berantakan ini. Atau mencoba merapikan dunia sementara hidupnya
bertambah berantakan. Dia sadar, dia tak layak punya perasaan ini kepada Wulan.
Logikanya
juga memberi saran kepadanya. Bahwa mencoba menyusup kedalam suatu hubungan
percintaan yang sudah lama dibina adalah suatu kejahatan. Dia mencoba
mengingatkan pada hatinya bahwa Wulan adalah gadis yang belum lama dia kenal.
Dari sebuah pertemuan yang tak disengaja. Dan tak adil memanfaatkan suasana
untuk menawarkan sebuah rasa. Perasaan yang telah timbul diredamkan dan
dibekukan kembali olehnya. Memang sudah lama dia tidak merasakan getaran
jantung yang berdegup kencang. Dan terkadang jantung itu seolah ingin berhenti
dengan sendiri ketika melihat sebuah senyuman dari sebuah bibir tipis yang
memerah. Akhirnya sekali lagi dia harus mengubur sangat dalam perasaannnya. Dan
dia menyadari bahwa apa yang dia rasa adalah suatu kekeliruan. Dia mencoba
meluruskan lagi pemikiran seperti itu. Dan berhasil menjinakkan percikan yang
timbul di hatinya.
Belum
sampai dia bener – bener terpejam putra melihat banyak penumpang yang hendak
mengambil tas dan barang bawaan mereka. Dia duduk kembali. Dilihatnya dari
jendela yang gelap. Ternyata sudah hampir dekat stasiun terakhir. Dia melihat
jam dari ponsel yang dia bawa. Ternyata sudah pukul 2.00 dini hari. Dia kembali
ke tempatnya disamping Wulan. Dia terkejut saat Wulan bertanya kepadanya. “Mas
yang tadi tidur di bangku sebelah sana ya?”. “Emang kenapa?” sahut Putra. “Ga,
aku pikir tadi dimana kok tiba – tiba ga ada”. Kemudian berkata “Tenang saja,
aku tidak akan pergi kemana – mana. Aku akan mengantarmu sampai tujuanmu.
Sampai kamu bertemu kekasihmu yang menjemputmu sampai kamu menggapai mimpimu”.
Entah apa yang membuat dia berkata seperti itu. Namun dia ingin memastikan
kepada Wulan bahwa dia akan memenuhi janji yang telah ia ucapkan kepadanya
untuk mengantar dia meraih semua mimpinya. Satu persatu penumpang turun. Deru
suara langkah kaki bergiliran terdengar. Mereka menuju pintu keluar. Lokomotif menghentikan
gerbong yang dia tarik semalaman itu. Putra dan Wulan turun bersama ratusan
penumpang lainnya. Lorong yang Putra lewati seolah menjadi suatu jalan
perpisahan dengan Wulan. Kemudian mereka keluar stasiun. Wulan melihat
kekasihnya sudah datang menjemputnya. Kemudian ia menghampirinya. Putra melihat
dia sangat senang dan bahagia. Kemudian dia melangkahkan kaki ke arah
sebaliknya. Namun Wulan memanggilnya lalu berpamitan kepadanya. “Terimakasih”.
Itulah yang diucapkan Wulan kepadanya. Putra hanya bisa senyum tanpa berkata.
Dia memang sengaja tidak ingin mengucapkan sampai jumpa lagi. Karena itu
berarti dia menginginkan perjumpaan dengan Wulan lagi. Namun dia juga tidak
mengatakan sampai jumpa karena dia tidak mengetahui apakah dia benar – benar
tidak bertemu dengannya lagi. Atau bahkan ada kejutan lagi sampai
mempertemukannya dengan dia lagi.
Kemudian dia melangkahkan sebuah
langkah yang disertai rasa kantuk dari matanya. Dilihatnya banyak orang
bertiduran di sebuah masjid. Puluhan orang terlelap di depannya. Dia akhirnya
tergoda untuk bergabung dengan mereka. Belum lama memejamkan mata adzan subuh
terdengar. Membangunkannya. Kemudian dia ambil wudhu untuk menunaikan ibadah.
Dia masih di halaman stasiun ini untuk menunggu pagi. Pagi yang selalu dinanti.
Untuk menawarkan sebuah cerita bagi pertanyaan yang belum sempat diberi
jawaban. Jawaban atas perjalanan yang dia lakukan. Jawaban atas kenapa dia
dipertemukan dengan Wulan. Jawaban atas pertanyaan kemana lagi dia melangkahkan
kaki. Dia berjalan memanggil tukang ojek di depan stasiun untuk membawanya ke
stasiun di sisi lain kota yang ini. Disana dia menjumpai berbagai macam
lokomotif yang menarik gerbong berbagai jurusan. Sontak dia berpikir. Seperti
sebuah lokomotif yang setiap hari menarik gerbong yang berisi berbagai macam
mimpi, harapan dan keinginan. Ia selalu siap mengantar mereka sampai ke tempat
mereka mewujudkan mimpi, harapan dan keinginan. Mungkin Putra bukanlah
lokomotif. Namun dia seperti sebuah pengantar mimpi, harapan dan keinginan
bahkan sebuah hati dalam sosok Wulan. Perjalanan separuh perjalanan bumi ini
menyadarkan Putra bahwa ada yang jauh lebih indah dari jatuh cinta. Hal
tersebut adalah sebuah mimpi dan mewujudkan mimpi itu. Dan sangat berbahagia
jika dapat mewujudkan mimpi seseorang apalagi orang tersebut adalah pemilik
sebuah hati yang ingin dipeluknya. Alangkah beruntung jika hal itu bisa
diperoleh keduanya. Mencintai seseorang tersebut dan mewujudkan mimpinya. Tapi
hal itu berbeda dengan Putra. Dia sadar bahwa hati Wulan telah dimiliki, dan ia
tak ingin merebut atau mengambil dari pemilik hatinya. Dan Putra telah
menyimpan semua ini ke dalam tempat yang paling rahasia, tempat dimana rindu,
cinta dan doa bersatu dalam gema. Dia tidak akan hanya menyimpan perjalanan
separuh putaran bumi bersama seorang gadis yang ingin mewujudkan mimpinya ini
di hati saja. Namun juga di jantungnya. Sebab disanalah letak kehidupan.
Menghembuskan nafas bukan untuk sekedar hidup. Tetapi membawa orang yang
dicintai dalam kesadaran berkehidupan.