Friday, May 27, 2016

Perjalanan Separuh Putaran Bumi


PERJALANAN SEPARUH PUTARAN BUMI
 
                       
             Bunyi klakson di luar saling bersahutan. Entah apa yang mereka ributkan. Padahal kemacetan ini mereka jualah yang ikut andil. Lampu lalu lintas di perempatan depan sebuah pusat perbelanjaan juga terlihat lancar menyalakan warna merah, kuning, hijau. Apa mereka tidak bisa antri sebentar saja menunggu giliran. Apakah panas menyengat dari kota ini yang meskipun terkadang tersiram hujan malah menjadi – jadi. Yang membuat mereka segera keluar dari kesemrawutan jalan ini. Kota ini memang tiap hari bertambah padat. Dipenuhi berbagai manusia dengan berbagai karakter yang mungkin terbentuk karena panasnya kota ini. Namun kota ini jualah yang selalu membuat seseorang ingin kembali merasakan hangatnya suasana di kota ini. Mobil sudah setengah jam lebih belum berpindah posisi. Seperti terpaku tak bergerak. Rasa bosan telah melanda. Akhirnya radio yang ada di mobil dinyalakan sebagai pelipur suasana. Bersama kakak perempuan dan suami kakaknya, mereka mendengarkan lagu yang mengalunkan nada – nada mendamaikan telinga. Sebagai pengusir penat kemacetan yang entah siapa yang harus disalahkan. Sedang asik memutarkan sebuah lagu. Suara adzan duhur terdengar dari saluran radio. Alhamdulillah, mobil akhirnya bisa bergerak sedikit demi sedikit. Setelah perempatan ini akan sampai di stasiun, kemudian melanjutkan perjalanan lagi. Dengan transportasi andalan sejuta umat.
           

             Akhirnya sampai tepat di pintu masuk ke stasiun. Putra langkahkan kakinya keluar dari mobil. Menggendong tas ransel biru. Lalu ia berpamitan kepada kakaknya. Becak – becak, tukang ojek dan angkot berbagai jurusan berjajar di depan stasiun. Putra berjalan menuju sebuah masjid tepat di sebelah stasiun. Setelah itu ia menuju sebuah minimarket. Stasiun ini sungguh sudah berubah. Telah berias dengan kemodernisasi. Tak lagi menjumpai tukang pentol yang biasa menjajakan dagangannya dengan sepeda onthelnya. Atau tidak ada lagi ibu – ibu penjual yang menyunggi jualannya di tampah. Tukang bakso dengan gerobaknya dan penjual buah sudah tiada lagi. Stasiun yang dulunya sangat ramai penjual kini entah kemana mereka yang sekedar mencari sesuap nasi itu tersisihkan. Apakah perubahan itu selalu menyisihkan sebagaian yang lain. Atau malah harus menghilangkan. Kemudian Ia rebahkan kakinya, memeriksa ponsel, apakah ada pesan dari seorang yang melakukan perjalanan searah dengannya. Ia berjalan mengelilingi stasiun. Entah berapa lama juga ia mengamati wajah stasiun yang berubah ini. Matanya tertuju pada lokomotif yang ada di depan stasiun. Setiap stasiun memang memiliki keunikan tersendiri. Mungkin lokomotif tua ini menjadi ciri khas stasiun di kota yang dipenuhi jiwa pejuang. Mungkin lokomotif ini memiliki sejarah panjang atau mungkin memiliki nilai yang penting sehingga dijadikan maskot dari stasiun ini. Apapun itu, lokomotif ini pernah melaju gagah di sebuah rel. Dengan menarik berbagai macam gerbong dalam waktu ribuan jam. Memang segala sesuatu pasti ada masanya. Begitu juga lokomotif yang tangguh ini. Yang pernah berdiri di depan dan memimpin ribuan gerbong. Sekarang menjadi simbol ketangkasan sebuah satuan rangkaian kereta api.



Lokomotif Tua 

           

         Sengatan panas dari kota ini sungguh sampai ke tulang. Mengucurkan keringat di kening. Akhirnya ia putuskan untuk mencari tempat berteduh. Ia melihat minimarket yang tadinya ramai sekarang sepi. Kemudian ia duduk di bangku depan minimarket itu. Diambilnya minum botol yang diselipkan di tasnya. Ia teguk sedikit sebagai penghilang dahaga. Semilir dari pepohonan yang ditanam di depan stasiun setidaknya sedikit berperan memberikan kesejukan. Tak lama berselang melintas di depannya seorang yang akan melintasi waktu menuju kota yang banyak orang bilang kota impian. Namun baginya kota itu sungguh mengerikan. Ia menyapa seorang gadis berjilbab itu. Kemudian dia menoleh ke arahnya. “Aku mau ke masjid sebentar ya, aku mau sholat”. Itu yang dia ucapkan kepadanya. Dia juga menitipkan tas kepadanya. Kemudian dia menaruh tas itu di bangku depan tepat dari duduknya. Tak lama gadis itu dari masjid kemudian mereka mengobrol. Wulan, itulah namayan. Dia bercerita kalau dia dari pagi sudah naik kereta dari rumahnya. Kemudian dia berhenti di stasiun di sisi lain di kota ini. Dan sekarang akan naik kereta lagi. Sungguh perjalanan yang panjang yang dibenaknya. Dia juga bercerita jika ini adalah perjalanan pertamanya seorang diri dan yang terjauh. Dan kota yang akan dia tuju juga baru pertama. Putra menikmati setiap yang dia ucapkan. Dia berbicara dengan lugu tapi penuh kekhawatiran. Putra berusaha meyakinkan dia. Dan akan menemaninya sampai tujuannya. Di sela obrolan terdengar pengumuman dari dalam stasiun jika seluruh penumpang diharapkan memasuki stasiun karena kereta telah bersiap mengantar ke tujuan. Mereka bergegas menuju dalam stasiun. Kemudian Putra angkat tas yang biasa ia bawa. Dan Wulan juga terlihat menjinjing tasnya. Entah apa yang ada dalam tasnya.

            Seorang petugas bertubuh tegap dan berbaju biru menghentikan langkah mereka. Pria itu menyuruh untuk menunggu sebentar karena kereta sedang dibersihkan. Putra memilih duduk di bangku yang dekat dengan blower hitam besar. Wulan terlihat  sedang menelpon. Kelihatannya dia sedang memberi kabar jika ia sudah berada di dalam stasiun dan akan berangkat. Ibu – ibu dengan membawa tas dan barang yang dibungkus dalam kerdus juga duduk di belakang kursi mereka. Para pengangkut barang juga terlihat menawarkan jasanya untuk membawa barang ke dalam gerbong. Tak lama berselang mereka dipersilahkan untuk memasuki gerbong. Mereka langkahkan kaki bersama penumpang lain menuju gerbong. Putra menaruh tas ranselnya ke atas bangku. Ia berusaha membantunya menaruh tas gadis itu ke atas juga. Ia persilahkan Wulan duduk di dekat jendela  untuk menikmati perjalanan selama 11 jam lebih ini. Terlihat dari jendela dekap langkah yang tergesa – gesa ingin segera memasuki gerbong kereta. Petugas yang tadi menghentikan langkah mereka juga sibuk memberi informasi kepada penumpang yang bertanya kepadanya. Para pengangkut barang juga terlihat sigap membawa barang penumpang. Kepala stasiun sudah mulai keluar dari ruangannya. Dan dari pengeras suara juga terdengar jika kereta akan segera diberangkatkan. Tiupan pluit dari kepala stasiun itu mengawali perjalanan kereta ini. Lokomotif bersiap. Mereka melaju bersama penumpang lainnya.

            Memang perjalanan ke kota itu bukan yang pertama bagi Putra. Dia sampai hafal sepanjang perlintasan yang akan dilalui kereta ini. Wulan terlihat seperti anak kecil yang akan membuka kado ulang tahunnya. Penuh dengan rasa ingin tahu. Dia bertanya kepada putra tentang apa yang ia lihat dan daerah mana itu. Di sela – sela itu mereka juga mengobrol tentang banyak hal. Mereka memang belum lama mengenal. Tapi itulah Putra, yang selalu berusaha mencoba mengerti lawan bicaranya. Sehingga Wulan juga tidak canggung bercerita banyak hal kepadanya. Wulan menceritakan tentang kekasihnya. Dimana dia mengenalnya. Bagaimana kuliahnya. Dan ia terlihat sangat memuja kekasih hatinya itu. Tak jarang Putra juga melontarkan pertanyaan yang kadang membuat Wulan bingung menjawabnya. Putra juga bercerita banyak hal kepada Wulan. Kisah perjalanan hidupnya. Dimana dia tinggal. Bagaimana keluarganya.

            Dalam gerbong ini, mereka begitu menikmati perjalanan. Suara gesekan roda gerbong dengan rel seolah menjadi melodi yang melantun indah mengiringi obrolan mereka. Dua lelaki yang duduk di depan mereka juga terlihat melihat mereka yang sedang membicarakan sesuatu. Di sebelah bangku mereka juga ada seorang ibu dan suaminya serta anak bayi perempuan yang menggemaskan. Gerbong ini dipenuhi dengan berbagai raut wajah. Namun mereka tak mempermasalahkan itu. Suara gesekan rem seperti interlude dalam pembicaraan mereka. Setiap kereta berhenti, Wulan terlihat antusias menanyakan nama stasiun itu kepada Putra. Dan Putra juga selalu menjawab apa yang dilontarkannya. Wulan juga sangat kagum melihat pemandangan di luar jendelanya. Perumahan, tambak ikan, persawahan. Rangkaian sajian alam itu memang hal yang baru bagi Wulan. Dan dari sorot matanya dia terlihat menerka – nerka akan ada apalagi yang dia lewati.  Begitulah, akan selalu ada hal yang pertama dalam hidup. Pertama kali pergi ke sekolah, pertama kali mengunjungi sebuah tempat, pertama kali melakukan perjalanan sendiri bahkan pertama kali merasakan jatuh hati atau patah hati. Hal pertama memang selalu seperti tanda tanya tanpa mengetahui jawaban dari kejutan itu.

            Langit sudah memadamkan kilaunya. Cahaya matahari berganti gemerlap bintang di luar jendela. Lampu gerbong dinyalakan. Pemandangan hijau persawahan tak nampak lagi. Namun hanya gelap yang terlihat. Di suatu daerah Putra menceritakan akan melewati daerah yang menjadi sumber devisa negara. Terlihat kobaran api dan gemerlap lampu dari salah satu perusahaan pengeruk kekayaan alam milik bangsa yang dikuasai bangsa asing. Sungguh ironi, namun itulah realita yang terjadi. Bangsa yang dikarunia berbagai kekayaan alam namun seperti tergadaikan. Bangsa seolah tak berdaya  dan membiarkan orang asing menikmati dalam menguasai hasil alam itu.

            Ratusan menit berlalu, ratusan kilo juga telah dilalui bersama putaran roda gerbong yang selalu berputar. Suara tengkuran dari salah satu penumpang terdengar. Ternyata mereka tidak menyadari bahwa hari sudah larut. Salah satu penumpang juga terdengar memutar lagu dengan ponsel yang dia bawa. Wajah – wajah lelah dari puluhan manusia telah menghiasi gerbong yang mereka tumpangi. Namun suara mesin dari lokomotif seperti instrumen musik yang tak habisnya menghasilkan nada – nada. Di gemerlap malam mereka masih terlarut dalam pembicaraan yang tak tahu ujungnya mana. Penumpang pun silih berganti turun dan naik. Seorang ibu yang menggendong anak yang menggemaskan bersama suaminya telah turun. Perut Putra tak bisa ditoleransi lagi, dia memutuskan untuk mengambil bekal yang ia bawa dari rumah. Ia menawarkan kepada Wulan untuk makan bersama. Namun Wulan mempersilahkannya makan. Dia berkata nanti dia akan makan sendiri.           
         Hari semakin larut.  Hujan yang tak nampak dari jendela, tak terasa menerobos sela – sela kaca. Membasahi lantai. Wulan mengambil tisu untuk membasuh tempat duduknya yang basah. Kereta melaju begitu cepat malam itu. Entah hujan sudah reda atau daerah yang dilintasi kereta tidak hujan. Air rembesan dari kaca itupun tidak nampak lagi. Bangku Wulan juga mengering. Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 10 malam. Putra berkata kepada Wulan agar dia segera tidur. Atau paling tidak memejamkan mata. Karena sejak dini hari dia telah melakukan perjalanan yang panjang. Hampir separuh putaran bumi. Putra memberikan bantal leher tiup yang ia bawa kepada Wulan. “Istirahat sana, sudah malam”. Itu yang dikatakan Putra katakan kepada Wulan. Wulan menyandarkan kepalanya ke bantal tersebut. Dengan wajah yang kelelahan yang tesirat di rautnya. Kemudian ia terlelap dan tertidur.
            Mungkin Wulan mengetahui beberapa bahkan banyak hal tentang Putra dari beberapa pembicaraan selama perjalanan. Namun begitulah Putra. Perjalanan mengajarkan banyak hal kepada dia. Perjalanan telah meluluhkan kerasnya watak. Entah berapa putaran bumi yang dia tempuh hingga dinding pekanya tersentuh. Putra memang sangat pandai menyimpan sebuah rahasia meskipun dia terlihat orang yang terbuka. Pemikiran dia memang terkadang sulit diterka karena perjalanan juga ikut andil menutrisi otaknya. Wulan tidak tahu bagaimana sebenarnya apa yang dirasa putra selama perjalanan melintasi sepanjang rel ini. Dia tidak menyadari bahwa putra adalah penjelajah waktu. Yang selalu merekam apa yang dia lihat, yang dia rasa dengan menggunakan kameranya. Bahkan tak jarang dia harus ke sambungan gerbong untuk mendapatkan hasil jepretan yang bagus. Tapi saat itu dia seperti terpaku. Tidak beranjak sedikitpun dari tempat duduknya. Wulan tidak mengetahui ada hal yang membuat matanya terus menatap dan tubuhnya menetap. Putra sering mencuri pandang kepadanya. Melihat ke dalam sayup matanya di balik kacamata yang menghiasi wajahnya. Yang terkadang kelingan dari matanya sungguh membuat terpesona. Melihat raut wajah lugu penuh keingin tahuan akan hal yang dilihat. Dan Putra selalu menjawab apa yang ditanyakannya akan semua yang dia lihat sambil menikmati hangatnya hembusan nafas yang keluar dari hidungnya. Setiap suara yang keluar dari bibir merahnya bagai alunan melodi yang mengiringi lantunan orkestra suara kereta. Matanya seperti tertegun saat melihat dia tersenyum. Menikmati gigi kelincinya yang terlihat saat tertawa. Guratan dari pipinya seolah melengkapi keindahan lukisan di wajahnya. Sentak dia menerka. Mungkin Tuhan saat menciptakannya saat sedang begitu bahagia. Hingga dia bisa merasakan kesejukan angin surga.
            Sebelum tiba waktu senja. Putra selalu mengeluarkan kameranya. Dia akan merekam dan mengabadikan setiap cipratan senja dari mata lensanya. Tapi sore itu sungguh berbeda baginya. Pemandangan matahari yang akan turun di peraduan dengan latar tambak ikan dengan pepohonan yang berjajar di tepian air. Memang sungguh indah. Bayangan siluet dari pepohonan yang memantul di air, serta percampuran warna langit yang dihasilkan dari senja biasanya menjadi objek andalan fotonya.  Namun bingkaian panorama yang menakjubkan itu, seolah dia abaikan karena ada objek yang jauh lebih memukau. Ia sudah mengeluarkan kamera. Membidik panorama di luar jendela itu dari tempat duduknya. Namun matanya seperti terhipnotis dengan siluet gadis berjilbab biru dengan baju garis putih biru yang dipakainya yang sedang kagum karya Tuhan. Ia sampai lupa menekan tombol “shot” di kameranya. Dia lebih memilih menikmati sajian ini daripada mengatur susunan komposisi warna di lensanya. Karena dia sadar bahwa lensa terbaik adalah mata yang diciptakan Tuhan. Dan media penyimpanan objek terbesar dan paling terjaga rahasianya ada di hati. Dalam hatinya dia berkata bahwa “senja dan kamu, sungguh hadiah yang tak terlupa”. Saat itu dia tertangkap basah oleh Wulan kalau dia memandanginya terus. Wulan berkata “emang cewek itu ribet, bajunya harus sepadan warnanya sama kudungnya”. Wulan tak menyadari bahwa ada hal lain yang membuat mata Putra terpana.
            Bahkan saat Wulan memejamkan mata. Dia masih memandanginya. Melihat wajah penuh mimpi yang kelelahan setelah dari petang melakukan perjalanan. Seorang wanita yang duduk di depan Wulan juga sempet memergokinya dan berkata “itu pacarnya mas?”. Namun ia hanya tersenyum seraya berkata “bukan, dia teman saya”. Dalam gelap malam dan lampu gerbong yang meredup. Ia mencoba menyadarkan dirinya. Sejenak memejamkankan mata. Dalam hati dia berkata bahwa dia tidak boleh terhanyut suasana. Dia harus melawan perasaan yang telah melarutkan pikiran. Dia harus segera keluar dari ini. Seperti terengah – engah berlari dari rasa yang harus dibatasi. Melarikan diri dari tawaran yang ditimpulkan reaksi alami.
            Ia berpikir apakah bersalah dan apakah berdosa mencintai dirinya yang telah dicintai. Jatuh hati padanya. Jatuh luluh padanya. Dia juga menyadari bahwa ini adalah kesalahan yang sengaja dia perbuat dan kebodohan yang tak disesali. Tapi dia harus segera mengatasi ini. Dia adalah petualang waktu yang berusaha menepati janji. Terikat dia teringat akan janji yang ia buat. Bahwa dia akan mengantarkan Wulan sampai ke tujuannya untuk mewujudkan harapan dan mimpinya. Serta bertemu kekasih pujaan hatinya. Namun begitulah perjalanan. Bagaimanapun berencana dan berusaha, selalu saja ada kejutan yang tak terkira. Entah berapa kali putaran bumi yang dia lewati, dan selalu muncul kejutan yang terjadi. Putra sejak awal menanamkan ke hatinya bahwa perjalanan separuh putaran bumi ini adalah untuk mengantar Wulan. Namun dia tak menyangka akan terjebak seperti ini.  Dan tidak dapat membedakan antara terseret arus suasana dengan jatuh hati yang sebenarnya.
            Meski dia memejamkan mata namun jiwanya masih terjaga. Dia melihat sekitarnya sudah terlelap dalam tidur. Dia juga melihat Wulan sekali lagi. Dia ingin memastikan bahwa dia benar – benar tidur. Dia memutuskan untuk berdiri. Bergerak perlahan agar tidak mengejutkan Wulan yang duduk disebelahnya. Dia melihat ada bangku yang sudah tidak ditempati. Dia luruskan punggungnya. Dia kemudian berbaring sambil menatap ke langit  - langit kereta. Mencoba memejamkan mata yang sudah lama terjaga. Namun otaknya masih aja berputar tak diam seperti ada yang dipikirkan. Mencoba melupakan semua yang dia rasa dalam pejaman mata. Dia berusaha menyadarkan dirinya. Melawan arus yang searah dengan laju gerbong yang ditarik dengan lokomotif ini. Dia sadar siapa dirinya. Dia hanya seorang Pejalan yang tak jelas arah dan tujuan langkah kakinya. Dan dia tahu bahwa Wulan adalah sosok yang setia. Dia juga sempat melihat foto kekasihnya di dompet yang dia bawa. Mungkin itulah cara Wulan untuk setia dengan hubungan jarak jauhnya. Dia juga memiliki kekasih yang jelas arah hidup dan pekerjaannya. Bukan seperti dia yang kerjaannya menyusuri tiap jengkal jalan beraspal. Yang terkadang berlubang atau malah mengelupas aspalnya. Berpindah dari gerbong yang satu ke gerbong yang lain. Pindah ke bus yang dipenuhi berbagai muatan. Yang terkadang ditumpangi para pencopet. Dia mencoba berpikir realita. Bahwa dia hanya seorang pria yang kemana – mana hanya bermodal tas ransel dan kekuatan langkah kaki saja. Bandingkan dengan kekasih Wulan yang diceritakannya. Bekerja disebuah kantor. Yang sibuk sampai akhir pekan terkadang masih bekerja. Sosok yang ideal bagi setiap perempuan. Yang merelakan waktunya untuk mencari sebuah penghidupan. Hidupnya sudah mapan. Bandingkan dengan dia yang seorang lelaki yang masih bingung memilih merapikan hidupnya di dunia yang sudah berantakan ini. Atau mencoba merapikan dunia sementara hidupnya bertambah berantakan. Dia sadar, dia tak layak punya perasaan ini kepada Wulan.
            Logikanya juga memberi saran kepadanya. Bahwa mencoba menyusup kedalam suatu hubungan percintaan yang sudah lama dibina adalah suatu kejahatan. Dia mencoba mengingatkan pada hatinya bahwa Wulan adalah gadis yang belum lama dia kenal. Dari sebuah pertemuan yang tak disengaja. Dan tak adil memanfaatkan suasana untuk menawarkan sebuah rasa. Perasaan yang telah timbul diredamkan dan dibekukan kembali olehnya. Memang sudah lama dia tidak merasakan getaran jantung yang berdegup kencang. Dan terkadang jantung itu seolah ingin berhenti dengan sendiri ketika melihat sebuah senyuman dari sebuah bibir tipis yang memerah. Akhirnya sekali lagi dia harus mengubur sangat dalam perasaannnya. Dan dia menyadari bahwa apa yang dia rasa adalah suatu kekeliruan. Dia mencoba meluruskan lagi pemikiran seperti itu. Dan berhasil menjinakkan percikan yang timbul di hatinya.
            Belum sampai dia bener – bener terpejam putra melihat banyak penumpang yang hendak mengambil tas dan barang bawaan mereka. Dia duduk kembali. Dilihatnya dari jendela yang gelap. Ternyata sudah hampir dekat stasiun terakhir. Dia melihat jam dari ponsel yang dia bawa. Ternyata sudah pukul 2.00 dini hari. Dia kembali ke tempatnya disamping Wulan. Dia terkejut saat Wulan bertanya kepadanya. “Mas yang tadi tidur di bangku sebelah sana ya?”. “Emang kenapa?” sahut Putra. “Ga, aku pikir tadi dimana kok tiba – tiba ga ada”. Kemudian berkata “Tenang saja, aku tidak akan pergi kemana – mana. Aku akan mengantarmu sampai tujuanmu. Sampai kamu bertemu kekasihmu yang menjemputmu sampai kamu menggapai mimpimu”. Entah apa yang membuat dia berkata seperti itu. Namun dia ingin memastikan kepada Wulan bahwa dia akan memenuhi janji yang telah ia ucapkan kepadanya untuk mengantar dia meraih semua mimpinya. Satu persatu penumpang turun. Deru suara langkah kaki bergiliran terdengar. Mereka menuju pintu keluar. Lokomotif menghentikan gerbong yang dia tarik semalaman itu. Putra dan Wulan turun bersama ratusan penumpang lainnya. Lorong yang Putra lewati seolah menjadi suatu jalan perpisahan dengan Wulan. Kemudian mereka keluar stasiun. Wulan melihat kekasihnya sudah datang menjemputnya. Kemudian ia menghampirinya. Putra melihat dia sangat senang dan bahagia. Kemudian dia melangkahkan kaki ke arah sebaliknya. Namun Wulan memanggilnya lalu berpamitan kepadanya. “Terimakasih”. Itulah yang diucapkan Wulan kepadanya. Putra hanya bisa senyum tanpa berkata. Dia memang sengaja tidak ingin mengucapkan sampai jumpa lagi. Karena itu berarti dia menginginkan perjumpaan dengan Wulan lagi. Namun dia juga tidak mengatakan sampai jumpa karena dia tidak mengetahui apakah dia benar – benar tidak bertemu dengannya lagi. Atau bahkan ada kejutan lagi sampai mempertemukannya dengan dia lagi.
            Kemudian dia melangkahkan sebuah langkah yang disertai rasa kantuk dari matanya. Dilihatnya banyak orang bertiduran di sebuah masjid. Puluhan orang terlelap di depannya. Dia akhirnya tergoda untuk bergabung dengan mereka. Belum lama memejamkan mata adzan subuh terdengar. Membangunkannya. Kemudian dia ambil wudhu untuk menunaikan ibadah. Dia masih di halaman stasiun ini untuk menunggu pagi. Pagi yang selalu dinanti. Untuk menawarkan sebuah cerita bagi pertanyaan yang belum sempat diberi jawaban. Jawaban atas perjalanan yang dia lakukan. Jawaban atas kenapa dia dipertemukan dengan Wulan. Jawaban atas pertanyaan kemana lagi dia melangkahkan kaki. Dia berjalan memanggil tukang ojek di depan stasiun untuk membawanya ke stasiun di sisi lain kota yang ini. Disana dia menjumpai berbagai macam lokomotif yang menarik gerbong berbagai jurusan. Sontak dia berpikir. Seperti sebuah lokomotif yang setiap hari menarik gerbong yang berisi berbagai macam mimpi, harapan dan keinginan. Ia selalu siap mengantar mereka sampai ke tempat mereka mewujudkan mimpi, harapan dan keinginan. Mungkin Putra bukanlah lokomotif. Namun dia seperti sebuah pengantar mimpi, harapan dan keinginan bahkan sebuah hati dalam sosok Wulan. Perjalanan separuh perjalanan bumi ini menyadarkan Putra bahwa ada yang jauh lebih indah dari jatuh cinta. Hal tersebut adalah sebuah mimpi dan mewujudkan mimpi itu. Dan sangat berbahagia jika dapat mewujudkan mimpi seseorang apalagi orang tersebut adalah pemilik sebuah hati yang ingin dipeluknya. Alangkah beruntung jika hal itu bisa diperoleh keduanya. Mencintai seseorang tersebut dan mewujudkan mimpinya. Tapi hal itu berbeda dengan Putra. Dia sadar bahwa hati Wulan telah dimiliki, dan ia tak ingin merebut atau mengambil dari pemilik hatinya. Dan Putra telah menyimpan semua ini ke dalam tempat yang paling rahasia, tempat dimana rindu, cinta dan doa bersatu dalam gema. Dia tidak akan hanya menyimpan perjalanan separuh putaran bumi bersama seorang gadis yang ingin mewujudkan mimpinya ini di hati saja. Namun juga di jantungnya. Sebab disanalah letak kehidupan. Menghembuskan nafas bukan untuk sekedar hidup. Tetapi membawa orang yang dicintai dalam kesadaran berkehidupan.


 Lokomotif di Dalam Sebuah Stasiun

Note : Cerpen ini  dibuat berdasar hasil imajinasi dengan melihat beberapa objek yang saya rasa menarik kemudian merekamnya ke dalam sebuah foto saat melakukan perjalanan. Cerpen ini memang fiksi. Jika ada kesamaan nama dalam tokoh atau karakter, mohon maaf.