Disambut Seorang Teman di Sebuah Stasiun
Baru sebentar memejamkan mata. Berusaha
membiarkan semuanya larut dalam tidur yang tak teratur. Seorang pria dengan
memakai seragam putih memakai topi ditemani pria bertubuh tegap berseragam biru
membangunkan. Menepuk bahuku sambil bertanya tiket kepadaku. Mereka
mengejutkanku. Lalu ku berikan tiket yang ada di saku celanaku. Mata yang
sempat terpejam ini sulit untuk ku istirahatkan lagi. Aku putuskan membuka
jendela sebelah kananku. Ku biarkan semilir angin dari luar gerbong ini masuk
ke ruanganku. Ku hirup udara segar setelah pengap dengan ingatan yang terbawa
oleh gerbong waktu ini.
Sambil
memandangi persawahan hijau berjajar yang mulai terpinggirkan dengan bangunan –
bangunan perumahan berjajar. Bangunan pabrik - pabrik yang menggerus area
persawahan. Bahkan dengan cerobong asap tinggi yang menjulang yang siap
meracuni dan menyemburkan udara laknat pemusnah kehidupan. Aku juga melihat
berbagai macam bangunan simbol keserakahan manusia yang memojokkan lahan pangan
sejuta umat. Mataku seperti terhipnotis semakin dalam. Dan aku pun membiarkan
terhanyut dan mengikuti arus kelelahanku. Ku sandarkan saja punggungku di
bangku kereta yang posisinya tegak lurus. Ku sandarkan kepalaku ke samping
kanan, membiarkannya tertiup sepoi angin dari samping gerbong. Dan ku pejamkan
mataku. Aku tak akan khawatir terlewat turun di stasiun karena pemberhentian
terkahir adalah stasiun tujuanku.
Entah
berapa lama aku tertidur. Namun setidaknya membuatku bisa meleburkan ingatan
dalam gerbong yang sempat membawaku menuju suatu ingatan yang sengaja ingin aku
buang. Namun terbawa kembali oleh laju gerbong yang tak bisa aku hindari.
Seorang bapak berjaket kulit dan bertopi abu-abu membangunkanku. Katanya kereta
sudah sampai di stasiun terakhir. Dalam kondisi setengah kantuk, aku berusaha
mengucapkan terimakasih kepada bapak yang baik hati itu. Seorang ibu mencoba
mengambil tas diatas tempat penyimpanan barang. Aku bantu ibu itu
menurunkannya. Ibu itu tersenyum padaku. Senyum ikhlas dari seorang ibu.
Ratusan
langkah kaki berusaha tergesa – gesa keluar dari gerbong. Seorang ibu yang
menggendong anaknya juga kumpulan anak muda. Mungkin mereka menginginkan segera
keluar dari gerbong ini. Menemui seorang yang menunggunya di balik kaca
stasiun. Atau mereka ingin segera ke tempat tujuan mereka. Namun sengaja ku
pelankan langkah kakiku yang tak biasa pelan. Ku nikmati stasiun yang baru
pertama kali ku kesini. Tempat asing bagiku, namun mampu menyapa dan menyambut
aku dengan tangan terbuka seperti ingin merangkul aku. Mengingatkanku untuk
melangkah dan naik kereta lagi. Duduk di gerbong yang akan membawaku melintasi
waktu. Menuju stasiun yang lebih hangat merangkulku.
Aku langkahkan kaki kecilku keluar dari
gerbong. Beberapa montir kereta terlihat berusaha memeriksa kondisi kepala
lokomotif. Seorang petugas kebersihan juga membawa sekantong plastik hitam
besar. Mungkin itu sampah penumpang yang dibuang sembarang ke dalam gerbong.
Petugas dengan memakai seragam biru berbadan tegap dengan memakai helm juga
terlihat berdiri di depan pintu masuk. Rel kereta ini menggelitik indra
penglihatku. Seolah – olah rel ini tidak ada ujungnya dan menembus ke sebuah
sebuah gunung. Jauh ku memandang awan serta kabut menyelimuti gunung seolah –
olah menelan rel kereta ini. Apa ujung dari sebuah rel kereta ini. Apakah
sebuah stasiun. Atau mungkin jalan buntu. Apakah laut atau samudra. Mataku
masih saja tertuju pada rel panjang ini. Rel ini seperti sebuah perjalanan yang
tidak tahu ujung dari perjalanan itu. Terkadang rel ini dilalui gerbong yang melesat
kencang. Terkadang gerbong yang berjalan lambat. Terkadang jalur rel ini
melewati sebuah jembatan. Atau bahkan menerobos lebatnya hutan. Apapun yang
melewati rel ini. Dan apapun jalur yang dilewati. Rel ini berusaha setia
menopang gerbong yang mengangkut jutaan manusia dengan berbagai macam raut
wajah dan segala harapan mereka. Rel ini tidak pernah mengeluh mesti panas
menyengatnya. Atau bahkan saat sedang melontarkan hujan kepadanya. Puas mataku
melihat segala yang ada di stasiun yang ramah menyambut dengan hangat. Seperti
pelukan seorang ibu kepada anaknya.
Ku
langkahkan kembali langkah kakiku. Ku bergerak ke pintu keluar stasiun. Penjual
gorengan bertopi biru dengan baju yang agak lungsuh. Penjual minuman khas tanah
pasundan. Dan penjual lain dengan gerobak yang di dorong. Warung – warung
makanan nampak berjajar di luar. Stasiun ini sungguh bukan hanya tempat
pertemuan atau perpisahan. Banyak orang yang menggantungkan nasibnya dari
sebuah stasiun. Aku menuju ke penjual minuman itu. Untuk menghilangkan sedikit
dahaga. Belum habis minuman yang aku beli. Seorang menepuk pundakku dari
belakang. Aku menoleh kea rah belakang. Ternyata seorang teman yang sudah
berjanji menjemput aku telah datang. Teman seperjuangan sewaktu mengenyam
pendidikan kuliah. Yang sekarang telah merantau dan menetap di daerah ini. Memang
tujuanku dari awal adalah mengadu nasib di tempat yang sama dengan temanku ini.
Mencoba peruntungan untuk menetap di suatu daerah. Kemudian dia mengajakku
untuk segera naik ke motornya. Aku ambil uang di sakuku untuk membayar minuman
itu. Kemudian kami keluar dari stasiun ini.
Pemandangan Dalam Stasiun
Note : saat saya menunggu untuk dijemput seorang teman, ada pemandangan yang menarik bagi saya yaitu seorang montir kereta yang sedang memeriksa gerbong dan rangkaian kereta. Cerita kelanjutan dari cerpen saya sebelumnya terinspirasi dari pemandangan ini.
No comments:
Post a Comment