Tuesday, May 10, 2016

Gerbong Penyimpan Kenangan (part 2)

Gerbong Penyimpan Kenangan ( lanjutan)


Disambut Seorang Teman di Sebuah Stasiun

               Baru sebentar memejamkan mata. Berusaha membiarkan semuanya larut dalam tidur yang tak teratur. Seorang pria dengan memakai seragam putih memakai topi ditemani pria bertubuh tegap berseragam biru membangunkan. Menepuk bahuku sambil bertanya tiket kepadaku. Mereka mengejutkanku. Lalu ku berikan tiket yang ada di saku celanaku. Mata yang sempat terpejam ini sulit untuk ku istirahatkan lagi. Aku putuskan membuka jendela sebelah kananku. Ku biarkan semilir angin dari luar gerbong ini masuk ke ruanganku. Ku hirup udara segar setelah pengap dengan ingatan yang terbawa oleh gerbong waktu ini.
            Sambil memandangi persawahan hijau berjajar yang mulai terpinggirkan dengan bangunan – bangunan perumahan berjajar. Bangunan pabrik - pabrik yang menggerus area persawahan. Bahkan dengan cerobong asap tinggi yang menjulang yang siap meracuni dan menyemburkan udara laknat pemusnah kehidupan. Aku juga melihat berbagai macam bangunan simbol keserakahan manusia yang memojokkan lahan pangan sejuta umat. Mataku seperti terhipnotis semakin dalam. Dan aku pun membiarkan terhanyut dan mengikuti arus kelelahanku. Ku sandarkan saja punggungku di bangku kereta yang posisinya tegak lurus. Ku sandarkan kepalaku ke samping kanan, membiarkannya tertiup sepoi angin dari samping gerbong. Dan ku pejamkan mataku. Aku tak akan khawatir terlewat turun di stasiun karena pemberhentian terkahir adalah stasiun tujuanku.
            Entah berapa lama aku tertidur. Namun setidaknya membuatku bisa meleburkan ingatan dalam gerbong yang sempat membawaku menuju suatu ingatan yang sengaja ingin aku buang. Namun terbawa kembali oleh laju gerbong yang tak bisa aku hindari. Seorang bapak berjaket kulit dan bertopi abu-abu membangunkanku. Katanya kereta sudah sampai di stasiun terakhir. Dalam kondisi setengah kantuk, aku berusaha mengucapkan terimakasih kepada bapak yang baik hati itu. Seorang ibu mencoba mengambil tas diatas tempat penyimpanan barang. Aku bantu ibu itu menurunkannya. Ibu itu tersenyum padaku. Senyum ikhlas dari seorang ibu.
            Ratusan langkah kaki berusaha tergesa – gesa keluar dari gerbong. Seorang ibu yang menggendong anaknya juga kumpulan anak muda. Mungkin mereka menginginkan segera keluar dari gerbong ini. Menemui seorang yang menunggunya di balik kaca stasiun. Atau mereka ingin segera ke tempat tujuan mereka. Namun sengaja ku pelankan langkah kakiku yang tak biasa pelan. Ku nikmati stasiun yang baru pertama kali ku kesini. Tempat asing bagiku, namun mampu menyapa dan menyambut aku dengan tangan terbuka seperti ingin merangkul aku. Mengingatkanku untuk melangkah dan naik kereta lagi. Duduk di gerbong yang akan membawaku melintasi waktu. Menuju stasiun yang lebih hangat merangkulku.
          Aku langkahkan kaki kecilku keluar dari gerbong. Beberapa montir kereta terlihat berusaha memeriksa kondisi kepala lokomotif. Seorang petugas kebersihan juga membawa sekantong plastik hitam besar. Mungkin itu sampah penumpang yang dibuang sembarang ke dalam gerbong. Petugas dengan memakai seragam biru berbadan tegap dengan memakai helm juga terlihat berdiri di depan pintu masuk. Rel kereta ini menggelitik indra penglihatku. Seolah – olah rel ini tidak ada ujungnya dan menembus ke sebuah sebuah gunung. Jauh ku memandang awan serta kabut menyelimuti gunung seolah – olah menelan rel kereta ini. Apa ujung dari sebuah rel kereta ini. Apakah sebuah stasiun. Atau mungkin jalan buntu. Apakah laut atau samudra. Mataku masih saja tertuju pada rel panjang ini. Rel ini seperti sebuah perjalanan yang tidak tahu ujung dari perjalanan itu. Terkadang rel ini dilalui gerbong yang melesat kencang. Terkadang gerbong yang berjalan lambat. Terkadang jalur rel ini melewati sebuah jembatan. Atau bahkan menerobos lebatnya hutan. Apapun yang melewati rel ini. Dan apapun jalur yang dilewati. Rel ini berusaha setia menopang gerbong yang mengangkut jutaan manusia dengan berbagai macam raut wajah dan segala harapan mereka. Rel ini tidak pernah mengeluh mesti panas menyengatnya. Atau bahkan saat sedang melontarkan hujan kepadanya. Puas mataku melihat segala yang ada di stasiun yang ramah menyambut dengan hangat. Seperti pelukan seorang ibu kepada anaknya.
            Ku langkahkan kembali langkah kakiku. Ku bergerak ke pintu keluar stasiun. Penjual gorengan bertopi biru dengan baju yang agak lungsuh. Penjual minuman khas tanah pasundan. Dan penjual lain dengan gerobak yang di dorong. Warung – warung makanan nampak berjajar di luar. Stasiun ini sungguh bukan hanya tempat pertemuan atau perpisahan. Banyak orang yang menggantungkan nasibnya dari sebuah stasiun. Aku menuju ke penjual minuman itu. Untuk menghilangkan sedikit dahaga. Belum habis minuman yang aku beli. Seorang menepuk pundakku dari belakang. Aku menoleh kea rah belakang. Ternyata seorang teman yang sudah berjanji menjemput aku telah datang. Teman seperjuangan sewaktu mengenyam pendidikan kuliah. Yang sekarang telah merantau dan menetap di daerah ini. Memang tujuanku dari awal adalah mengadu nasib di tempat yang sama dengan temanku ini. Mencoba peruntungan untuk menetap di suatu daerah. Kemudian dia mengajakku untuk segera naik ke motornya. Aku ambil uang di sakuku untuk membayar minuman itu. Kemudian kami keluar dari stasiun ini.
            Kami berkeliling kota. Dia mengajakku menyusuri setiap sudut jalan di kota ini. Kemudian kami berhenti di sebuah masjid tepat di depan alun – alun. Arsitektur bangunan masjid selalu menarik bagiku. Ornamen di dalamnya. Suasana serta setiap sudutnya sungguh menentramkan. Aku ambil air wudhu kemudian menjalankan kebutuhanku sebagai seorang hamba. Lalu aku diajak lagi mengelilingi kota ini. Dia memang teman yang sudah aku anggap saudara. Saudara yang meskipun tak sedarah tapi pernah merasakan perjuangan sampai berdarah – darah bersama. Mungkin itulah yang membuat kami begitu dekat. Karena sama pernah merasakan getir dan pahitnya perjalanan bersama. Seorang teman sejati selalu meluangkan waktu untuk datang. Bukan ketika ada waktu luang saja dia datang. Atau bahkan ada saat perlu saja dia datang. Memang kami seperti itu. Selalu meluangkan waktu untuk sekedar minum kelapa muda, atau semangkok bakso. Meskipun sekarang dia telah berkeluarga. Namun dia masih menyisahkan waktu untuk temannya ini. Teman yang telah berjalan menyusuri ratusan kilo tanpa mengetahui kemana dia akan menghentikan langkahnya itu. Namun dia rela menopang dan mendukung temannya ini kemanapun melangkah. Terimakasih Tuhan telah menciptakan suatu makhluk untuk mengusir kesepian bernama Teman. Memang kita tidak selalu satu frekuensi atau bahkan selalu menjadi rival. Namun hal itulah yang membuat persahabatan kami selalu harmoni. Dia seperti montir bagiku. Selalu memeriksa kondisi gerbong hidupku untuk memastikan apakah dalam perjalananku mengalami kendala atau sesuatu yang menghambat perjalananku.



Pemandangan Dalam Stasiun

Note : saat saya menunggu untuk dijemput seorang teman, ada pemandangan yang menarik bagi saya yaitu seorang montir kereta yang sedang memeriksa gerbong dan rangkaian kereta. Cerita kelanjutan dari cerpen saya sebelumnya terinspirasi dari pemandangan ini.

No comments:

Post a Comment